TAN Malaka adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Namanya sangat melegenda, bahkan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963.
Salah satu tokoh sejarah Indonesia ini memutuskan untuk tidak menikah dan memilih untuk hidup melajang dan tak membangun keluarga sebagaimana banyak pemimpin republik lainnya di dunia.
Tak banyak referensi dan data terkait kisah percintaan pahlawan berjuluk Bapak Republik Indonesia ini. Namun Tan Malaka sendiri tak pernah menceritakan kisah kasihnya dengan noni Belanda itu di dalam memoarnyaDari Penjara ke Penjara.
Dari data yang dihimpun berbagai sumber menyebutkan kisah percintaanya itu dimulai di sebuah kota kecil di Sumatera Barat, seorang pemuda bernama Ibrahim yang kemudian dikenal sebagai Tan Malaka, merasakan cinta pertamanya.
Saat itu, Ibrahim sedang menempuh pendidikan di Kweekschool, Bukittinggi. Di sanalah ia bertemu dengan Syarifah Nawawi, seorang gadis yang cantik dan cerdas, yang menjadi teman sekelasnya.
Keduanya segera terikat dalam hubungan yang mendalam, di mana perasaan mereka tumbuh seiring dengan kebersamaan di bangku sekolah. Namun, cinta mereka diuji oleh keputusan sulit yang harus diambil Ibrahim.
Ketika keluarganya menawarkan gelar kehormatan Datuk, yang membawa tanggung jawab besar dalam masyarakat, ia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit: menolak gelar tersebut dan menikahi Syarifah, atau menerima gelar Datuk dan meninggalkan cintanya.
Setelah merenung, Ibrahim memilih untuk menerima gelar tersebut, memahami bahwa tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakatnya harus diutamakan. Keputusan ini memisahkannya dari Syarifah, cinta pertamanya yang ia tinggalkan dengan berat hati.
Setelah penobatannya, Ibrahim, yang kini dikenal sebagai Datuk Tan Malaka, melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Jarak yang begitu jauh semakin memperlebar jurang antara dirinya dan Syarifah.
Tanpa kabar dari Tan Malaka, Syarifah akhirnya menerima lamaran dari Bupati Cianjur, RAA Wiranatakusumah, seorang pria yang sudah memiliki dua istri. Pernikahan ini, sayangnya, tidak membawa kebahagiaan bagi Syarifah, yang akhirnya berujung pada perceraian.
Sementara itu, kegagalan cinta pertamanya telah meninggalkan luka mendalam di hati Tan Malaka. Sejak itu, ia memilih untuk hidup sendiri, tanpa terikat pada hubungan yang serius sebagaimana pahlawan kemerdekaan lainnya.
Di Belanda, Tan sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis Belanda bernama Fenny Struijvenberg, namun hubungan mereka tidak pernah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Tan Malaka, yang selalu terbebani oleh kenangan akan Syarifah, terus merasa bahwa cinta tidak lagi memiliki tempat dalam hidupnya. Pengalaman pahit ini menjadi salah satu alasan mengapa Tan Malaka memilih jalan komunisme.
Bagi Tan, ideologi ini tidak hanya merupakan landasan politik, tetapi juga pelarian dari rasa sakit yang terus menghantuinya. Cinta yang gagal membuatnya lebih fokus pada perjuangan dan revolusi, alih-alih mencari kebahagiaan pribadi.
Perjalanan hidup Tan Malaka membawanya ke berbagai negara. Di Filipina, di bawah nama samaran Elias Fuentes, ia sempat jatuh cinta pada seorang perempuan lokal, namun hubungan mereka berakhir tragis ketika Tan ditangkap dan dideportasi.
Di Tiongkok, Tan bertemu seorang gadis muda berinisial “AP” di Xiamen, yang sering datang untuk belajar bahasa Inggris darinya. Meskipun mereka saling terbuka, hubungan itu pun tidak berlanjut ketika Tan harus meninggalkan Amoy pada tahun 1937.
Setelah bertahun-tahun berkelana dan terlibat dalam perjuangan revolusioner di berbagai belahan dunia, Tan Malaka akhirnya kembali ke Indonesia.
Di Jakarta, ia bertemu Paramita Abdurrachman, keponakan Ahmad Soebardjo, yang sempat membuatnya kembali merasakan getaran cinta. Hubungan mereka cukup serius hingga banyak yang mengira mereka telah bertunangan.
Namun, sekali lagi, tugas dan perjuangan politik menghalangi Tan untuk mengejar kehidupan pribadi. Tan Malaka meninggal secara tragis pada tahun 1949, ditembak oleh tentara Indonesia.
Ia meninggalkan dunia ini sebagai seorang pejuang tanpa cinta, seorang "jomblo revolusioner" yang memilih perjuangan di atas segala hal, termasuk cinta.
Syarifah Nawawi tetap menjadi bayangan dari cinta yang hilang, kenangan yang terus menghantui setiap langkahnya dalam perjuangan panjangnya demi kemerdekaan bangsanya.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait