KOTA BLITAR - Rangga Bisma Aditya, S. Sosio. - "OPINI" - Tuban.iNews.id - Bulan Juni 2022 merupakan bulan yang istimewa dalam sejarah penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Tepat 14 Juni 2022, Tahapan Pemilu Serentak 2024 yang akan digelar pada Rabu, 14 Februari 2024 resmi diluncurkan oleh KPU RI. Pemilu yang diselenggarakan ke-13 kalinnya di Indonesia ini akan memilih Presiden dan Wakil Presiden serta para Wakil Rakyat yang duduk di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. H. Soekarno. Meski beliau sudah berpulang pada tanggal 21 Juni 1970 (52 Tahun yang lalu). Pemikiran dan gagasan demokrasinya tetap hidup hingga hari ini.
Bung Karno merupakan Presiden Republik Indonesia yang sukses menyelenggarakan pemilu pertama yang paling demokratis pada tahun 1955. Menurut Herbert Faith dalam bukunya berjudul The Indonesia Election of 1955, pemilu 1955 penyelenggaraannya digambarkan tanpa gesekan horizontal yang berarti, meski Indonesia tidak punya pengalaman pelaksanaan pemilu. Pemilu yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang juga merupakan perwakilan dari anggota partai-partai politik
Bung Karno berhasil menyelenggarakan Pemilu yang diikuti oleh 118 peserta yang terdiri dari 36 Partai Politik, 34 Organisasi Masyarakat, serta 48 calon perseorangan untuk memperebutkan 257 Kursi di DPR RI.
Pemilu 1955 sendiri dilaksanakan 2 kali pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR RI. Dan Pemilu 1955 yang kedua dilaksanakan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Konstituante yang ditugaskan untuk Menyusun UUD Negara Republik Indonesia pengganti UUDS 1950.
Pemilu pertama di Indonesia sendiri seyogyanya dilaksanakan pada tahun 1946. Namun karena faktor internal dan eksternal, pemilu urung dilaksanakan hingga sepuluh tahun kemudian di tahun 1955. Meskipun dalam perjalanannya Pemilu Legislatif Regional telah dilaksanakan di Kediri dan Sumbawa pada tahun 1946, serta Pemilu Lokal digelar di Minahasa, Sangihe-Talaud, Makassar, dan Yogyakarta pada tahun 1951 dan 1952.
Tidak terlaksanakanya Penyelenggaraan Pemilu pada Januari 1946 dikarenakan belum siapnya pemerintahan baru untuk menyusun regulasi, utamanya perangkat undang-undang tentang pemilu. Faktor lain adalah belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat dari konflik internal kekuatan politik yang ada ditambah gangguan Agresi Militer Belanda yang baru berakhir pada tahun 1949 melalui Perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Keinginan bangsa Indonesia untuk menggelar pemilu pertama sangatlah besar. Hal ini terbukti dengan terbitnya UU Nomor 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang kemudian diubah dengan UU Nomor 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Pasca terbitnya Undang-Undang tersebut, terjadilah perdebatan mengenai waktu pelaksanaan pemilu dikarenakan menurut UU Nomor 12 Tahun 1949, pemilu akan dilaksanakan secara berjenjang dengan alasan mayoritas warga negara Indonesia saat itu masih buta huruf. Sehingga waktu pelaksanaan Pemilu Kembali ditunda penyelenggaraannya.
Rangga Bisma Aditya, S. Sosio. (Foto : iNews/Pipit W).
Barulah pada tahun 1953 melalui UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilu, penyelenggaraan Pemilu 1955 memiliki dasar hukum yang jelas. Hal ini juga didasarkan pula pada pasal 57 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa anggota DPR RI dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali digelar tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil serta sangat demokratis.
Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosok Bung Karno yang senantiasa mendorong persatuan dan kesatuan bangsa meski harus berkompetisi dalam Pemilu 1955. Dalam beberapa Pamflet yang berhasil ditemukan dalam kampanye Pemilu 1955, Bung Karno dengan jelas menyerukan bahwa, “Pemilihan Umum jangan menjadi tempat pertempuran perjuangan kepartaian yang dapat memecah belah persatuan bangsa Indonesia.”
Seruan tersebut bukan tanpa alasan jika melihat 43.104.464 pemilih terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), dari total 77.987.879 penduduk Indonesia. Dengan jumlah pemilih tersebut, kerawanan akan polarisasi bangsa ditakutkan muncul akibat kepentingan Partai Politik yang saat itu sangat dominan.
Bahkan 5 hari sebelum Pemilu pertama dilaksanakan, tepatnya 24 September 1955, Bung Karno berpidato dihadapan Kongres Rakyat Jawa Timur. Adapun beberapa pesan dalam pidato tersebut adalah tekad Bung Karno yang menginginkan bahwa Indonesia harus tetap berdasarkan Pancasila.
Selain itu, Bung Karno juga menekankan bahwa Indonesia bukan milih sesuatu golongan. Indonesia adalah milik seluruh Bangsa Indonesia dari sabang sampai Merauke, sehingga beliau juga mendorong persatuan nasional meski pada kenyataannya Indonesia terdari berbagai suku, adat istiadat, ras, dan agama.
Pemilu 1955 merupakan ajang pembuktian bagi Indonesia sebagai negara demokratis. Adalah kebanggaan tersendiri atas pembuktian Indonesia di mata internasional dalam hal kematangan sebagai sebuah bangsa yang saat itu baru 10 tahun berdiri.
Tingginya angka partisipasi masyarakat yang mencapai 87,65% dari total 37.785.299 pemilih hadir berpartisipasi pada Pemilihan anggota DPR RI dan 37.837.105 pemilih hadir berpartisipasi pada Pemilihan Anggota Konstituante, menjadi keberhasilan penyelenggaraan pemilu di Era Bung Karno.
Keberhasilan lain Bung Karno adalah upaya mencegah polarisasi pasca penyelenggaraan Pemilu 1955. Meski dapat dikatakan dinamika politik pasca pemilu tidak stabil, namun ketidakstabilan tersebut dapat dikanal di kalangan elite politik saja. Sehingga dapat dikatakan Pemilu bukan merupakan sarana pertarungan anak bangsa, melainkan sarana untuk mewujudkan cita-cita rakyat Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Merujuk pada hal tersebut, penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 harus senantiasa mendorong keutuhan bangsa. Meski Bung Karno telah tiada, pemikiran beliau terhadap konsepsi persatuan nasional harus diutamakan. Pancasila harus senantiasa menjadi landasan filosofis bagi peserta, pemilih dan penyelenggara pemilu. Persoalan dinamika politik boleh saja dilakukan untuk merebut kekuasaan, namun disintegrasi bangsa akibat polarisasi tidak boleh lagi muncul seperti yang terjadi pada penyelenggaraan pemilu di tahun-tahun sebelumnya.
(Penulis merupakan Anggota KPU Kota Blitar Periode 2019-2024, Divisi Sosialisasi, Pendidikan Politik, Partisipasi Masyarakat dan SDM)
Editor : Prayudianto