SOLO, Tuban.iNews.id – Warga di kompleks Keraton Kasunanan (Keraton Solo), tepatnya di kampung Gabuhan, Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Solo, tentu tak asing dengan keberadaan tiga makam tersebut. Namun mereka juga merasa heran mengapa di tengah kampung, tepatnya di pertigaan jalan ada tiga makam.
Menurut warga setempat, tiga makam ini sudah ada jauh sebelum lingkungan tersebut dipadati permukiman warga. Dengan kata lain, tiga buah makam itu ditaksir usianya sudah ratusan tahun.
Lantas sebenarnya siapa yang dimakamkan di tempat tersebut? Dan mengapa tidak dipindahkan? Bahkan pihak Keraton sendiri tidak berani memindahkan tiga buah makam tersebut.
Menurut salah satu warga setempat bernama Sulastri (73) konon dari cerita para leluhurnya, makam tersebut adalah makam bayi. Namun dari mana asal ketiga bayi tersebut tidak ada yang mengetahuinya. Dan ketiganya terseret aliran kali Larangan.
"Dulu jauh sebelum daerah sini padat penduduk, di balik tembok Keraton itu dulunya ada sebuah kali yang namannya Kali Larangan," kata Sulastri belum lama ini.
Kemudian, oleh warga yang kebetulan menemukan, akhirnya ketiganya dimakamkan di wilayah Gabuhan, yang belakangan hari ramai menjadi perkampungan warga. Sehingga saat ini tiga makam itu tetap berada tepat di pertigaan jalan.
"Dari cerita turun temurun nama tiga bayi yang ada di makam itu adalah Nggoro Kasih, Den Bagus Kintir (hanyut) dan Mbok Roro Setu," ujar Sulastri (70).
Dia sendiri tak tahu persis berapa usia makam tersebut. Namun kemungkinan, usia makam itu sudah lebih dari 100 tahun. Sebelumnya ada upaya untuk memindahkan makam tersebut.
Namun salah satu warga yang dituakan mendapatkan per lambang jika keberadaan tiga makam itu tidak mau dipindahkan. Pesan itu kembali datang pada ayah Sulastri.
"Saat itu bapak diberi sasmita (pertanda) dalam bentuk suara yang mengatakan silakan dipindah tapi aku gak tanggung jawab," katanya. Khawatir terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, hingga saat ini tidak ada yang berani memindahkan lokasi makam.
Hal aneh juga terjadi, jauh sebelum dibangun dengan diberikan tanda berupa kijing, makam tersebut hanya berupa tanah saja.
Lokasi makam seringkali dilewati pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Hingga pada suatu ketika, ada suara yang datang kepada ayah Sulastri yang meminta agar diberikan tanda di makam tersebut.
"Suatu malam, bapak didatangi seseorang yang meminta agar makam diberikan tanda. Omahku kok diidak-idak wong. Omahku ki mulyakno. (Rumahku diijak-injak. Tolong dibangun)," ungkap Sulastri mengingat kembali cerita sang ayah.
Pernah ada kejadian sebelum di bangun ada pohon talok, kemudian ada yang mencoba memotong pohon talok yang ada di dekat makam, akhirnya yang memotong malah dapat memolo (bencana).
Menurutnya, sering kali ada penampakan, namun anehnya justru bukan warga sekitar. Namun orang yang kebetulan lewat kawasan tersebut. sering kali melihat penampakan orang tinggi besar.
"Banyak orang yang bukan warga sini ketakutan melihat keberadaan sosok tinggi besar dan hitam," ujarnya.
Salah satu putri Pakubuwono XII yang juga Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) GKR Wandansari yang akrab disapa Gusti Moeng mengatakan bila ketiga makam tersebut bukan dari keturunan Keraton Kasunanan.
"Saya tidak tahu siapa dimakamkan di situ. Tapi yang pasti, tiga makam itu bukan berasal dari kalangan kerabat Keraton atau keturunan Keraton," kata Gusti Moeng belum lama ini.
Menurutnya, dari cerita orang terdahulu, pada jaman dahulu, daerah tersebut ada sebuah kali yang bernama Kali Larangan. Dan tak jauh di mana ketiga makam itu berada, dulunya ada sebuah pintu air.
"Di dekat ketiga makam itu dulunya ada pintu air. Karena di situ dulunya ada sebuah kali (sungai) yang diberi nama Kali Larangan," ujarnya.
Diberi nama kali itu Kali Larangan, ungkap Gusti Moeng, karena memang kali itu sengaja dibuat oleh pihak Keraton untuk mengambil air dari Cokrotulung. Dan pintu air tersebut berfungsi untuk mengairi air masuk ke dalam Keraton.
"Karena air itu dipakai oleh Keraton, maka warga sekitar tak ada yang berani memakai air tersebut. Karena terlarang mengambil air dari kali itu, maka daerah tersebut sampai sekarang diberi nama Kali Larangan," ujarnya.
Sedangkan ketiga makam tersebut adalah makam tiga orang anak yang meninggal karena terseret arus kali yang kemungkinan terjadi saat pintu air dibuka.
"Makam itu berisi tiga orang anak yang usianya masih kecil. Kemungkinan ketiganya hanyut saat pintu kali dibuka. Dan oleh warga sekitar, ketiganya di makamnya di daerah tersebut," ujarnya.
Karena memang, dahulunya, daerah di mana ketiga makam itu berada, masih sangat sepi. Dan oleh pihak Keraton, daerah itu dijadikan tempat tinggal untuk para pejabat Keraton yang ikut pindah ke Desa Sala dari Kartasura.
"Daerah itu memang dipakai sama Keraton sebagai tempat tinggal para pejabat Keraton Kartasura yang ikut pindah ke desa Sala. Tapi sayangnya seiring perjalanan waktu, rumah-rumah di daerah itu banyak diperjual belikan. Meskipun sebenarnya statusnya hanya hak pakai saja," ungkapnya.
Pihak Keraton, kata Gusti Moeng, tak punya rencana memindahkan ketiga makam tersebut. Karena, ketiga makam itu sudah ada terlebih dahulu sebelum adannya permukiman.
"Loh kenapa dipindah. Makam itu ada terlebih dahulu sebelum pemukiman. Jadi biarkan saja ada di situ. Di daerah Baluwarti itu juga ada makam Ki Gede Sala," ujarnya.
Editor : Prayudianto