Jejak Peradaban Suci Kerajaan Kediri di Gunung kawi, Terkubur jadi Misteri dan Mitos Pesugihan

MALANG, iNewsTuban.id – Nama Gunung Kawi selama ini identik dengan mitos pesugihan dan praktik spiritual yang kerap dikaitkan dengan dunia mistis. Namun, di balik aura angkernya, gunung setinggi 2.551 meter di atas permukaan laut ini menyimpan sejarah panjang sebagai pusat spiritual dan budaya sejak masa Kerajaan Kediri, bahkan jauh sebelum mitos pesugihan dikenal luas.
Menurut sejarawan Malang, Suwardono, Gunung Kawi sudah menjadi bagian penting dari peradaban Jawa kuno. Jejak ini tercatat dalam naskah kuno Pararaton, yang menyebutkan bahwa kawasan di sekitar Gunung Kawi, terutama lereng-lerengnya sudah dihuni sejak abad ke-12 oleh para pendeta dan pemuka agama Hindu-Buddha.
Warisan Spiritual Era Kerajaan Kediri
Di masa Kerajaan Kediri, gunung-gunung dianggap sebagai tempat suci tempat pertapaan dan pemujaan para spiritualis. Gunung Kawi, dengan letaknya yang strategis dan suasana alamnya yang tenang, dipercaya menjadi salah satu pusat aktivitas religius. Kawasan seperti Ngantang, Selobrojo, dan Sirahkencong dulunya merupakan titik-titik penting tempat berdirinya padepokan dan asrama kependetaan.
“Di daerah Selobrojo, yang kini masuk wilayah Desa Banjarejo, Kecamatan Ngantang, dulu ada permukiman pendeta. Bisa dikatakan seperti pondok pesantren di zaman sekarang,” ungkap Suwardono.
Hal ini diperkuat dengan temuan Prasasti Hantang, peninggalan dari masa pemerintahan Raja Jayabaya, yang ditemukan di wilayah Ngantang. Prasasti ini menandakan adanya sistem administrasi dan keagamaan yang sudah mapan di wilayah sekitar Gunung Kawi, bahkan sebelum pengaruh Islam masuk ke Tanah Jawa.
Gunung Suci yang Terlupakan
Gunung Kawi sejajar dengan gunung-gunung suci lainnya di Jawa Timur, seperti Gunung Semeru, Gunung Arjuno, Gunung Penanggungan, dan Gunung Lawu. Namun, berbeda dari gunung-gunung lain yang lebih dikenal sebagai tempat wisata alam atau spiritualitas Hindu-Buddha murni, nama Gunung Kawi justru lebih melekat dengan mitos pesugihan.
Padahal, catatan sejarah dan bukti arkeologis menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan tempat pendidikan spiritual, pusat meditasi, dan pengabdian keagamaan yang penting di masa lalu. Sayang, situs-situs arkeologis di lereng timur Gunung Kawi belum banyak diteliti atau digali lebih lanjut. Sejumlah pertapaan kuno dan sisa-sisa bangunan kemungkinan masih terkubur di bawah tanah, menunggu ditemukan.
Asal-Usul Mitos Pesugihan
Lalu dari mana asal-usul pesugihan di Gunung Kawi? Mitos ini mulai berkembang di era kolonial dan pasca-kemerdekaan, ketika makam tokoh Tionghoa Ong Hok Liong dan pengikutnya, Mbah Sujo, mulai ramai dikunjungi peziarah yang berharap mendapat berkah kekayaan. Lambat laun, tradisi ini meluas dan berkembang menjadi ritual pesugihan yang bercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lokal, budaya Tionghoa, dan praktik spiritual Jawa.
“Fenomena pesugihan di Gunung Kawi tidak bisa dilepaskan dari sinkretisme budaya dan spiritual masyarakat. Ini berkembang seiring dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang mencari jalan cepat untuk memperbaiki nasib,” kara sejarawan Suwardono.
Kini, kawasan makam Ong Hok Liong di Dusun Gendogo, Desa Wonosari, menjadi salah satu titik paling ramai dikunjungi di Gunung Kawi. Tempat ini menjadi pusat ritual pesugihan yang dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari meditasi hingga ritual-ritual khusus yang dipercaya bisa mendatangkan rezeki instan.
Keunikan Wilayah Gunung Kawi
Gunung Kawi juga menyimpan banyak keunikan dari sisi geografis dan budaya lokal. Terletak di perbatasan antara Kabupaten Malang dan Blitar, gunung ini memiliki iklim yang sejuk, vegetasi lebat, serta aliran sungai dan sumber mata air yang disakralkan oleh warga sekitar.
Beberapa desa di kaki Gunung Kawi, seperti Dusun Gendogo, Wonosari, Banjarejo, dan Ngantang, masih mempertahankan kearifan lokal yang kental dengan nuansa spiritual. Ritual bersih desa, sedekah bumi, dan larung sesaji di beberapa titik sumber air masih rutin dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan penjaga alam.
Tidak sedikit pula pelaku spiritual dan peziarah yang datang bukan untuk pesugihan, melainkan untuk meditasi dan mencari ketenangan batin. Mereka percaya bahwa Gunung Kawi memiliki “energi” spiritual tinggi karena merupakan titik pertemuan berbagai kekuatan alam dan sejarah masa lalu.
Potensi Wisata Sejarah dan Religi
Meski selama ini Gunung Kawi dikenal karena citra mistisnya, potensi wisata sejarah dan religi di kawasan ini sebenarnya sangat besar. Jika pemerintah dan masyarakat setempat mampu mengemas jejak sejarah Gunung Kawi sebagai situs warisan budaya—dengan narasi yang kuat—bukan tidak mungkin Gunung Kawi bisa sejajar dengan tempat-tempat bersejarah lain di Indonesia.
Namun, untuk mewujudkan itu, dibutuhkan penelitian arkeologis lebih lanjut, dokumentasi sejarah yang kuat, dan pelestarian situs-situs penting yang saat ini belum tergali sepenuhnya.
Gunung Kawi adalah saksi bisu dari perjalanan panjang peradaban Jawa—tempat bertemunya sejarah, spiritualitas, dan mitos yang hingga kini masih hidup dalam masyarakat. Dia bukan hanya gunung para pencari kekayaan, tetapi gunung para pencari makna.
Editor : Prayudianto