TUBAN, iNews.id - Hidup buat Mbah Sukar Sastromijoyo seakan hanya untuk mengabdi dan melestarikan kesenian jawa. Sepanjang perjalanan hidupnya yang sudah menginjak 72 tahun, lebih separuh usia dicurahkan untuk menggeluti kesenian jawa mulai dari reog,gamelan hingga campursari.
Walau tubuhnya semakin renta termakan usia, warga Desa Klotok, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban ini masih bersemangat tetap mengajarkan kemampun berkesenian jawa dengan memberikan pelatihan karawitan.
Kakek bertubuh kurus ini mengajarkan kesenian gamelan dirumahnya yang berdinding papan kayu. diruang tamunya penuh dengan seperangkat gamelan lengkap dari demung, saron, boning, gong, kendhang, dan lainnya. Didinding sisih timur ruang tamu terdapat papan tulis yang dipenuhi tulisan not-not gamelan. Papan tulis itu menjadi sarana mengajar pada siapa saja yang datang untuk belajar seni karawitan.
Rumah sederhana mbah Sukar tempat mengajar karawitan
Setidaknya, saat ini Kakek yang masih tampak sehat ini mengajar belasan para guru SD yang tergabung di PGRI Plumpang setiap hari Sabtu. Selain itu juga mengajar karawitan di SMPN 3 Plumpang. Seringkali juga datang kerumahnya kelompok kesenian dari berbagai daerah untuk nganggsuh kawruh bab karawitan dan berkesenian lainnya dirumahnya.
Meski mengajar berkarawitan dan kesenian tradisional lainnya, pengakuan Mbah Sukar yang tidak pernah menarik bayaran serupiahpun. Apa yang dilakukan atas dasar keihklasan ini juga dibenarkan oleh sang istri mbah Wanti. jika apa yang dilakukan suaminya selama ini atas rasa cinta pada berkesenian jawa.
“Saya sudah bahagia jika masih ada yang mau belajar karawitan,” terang Mbah Sukar, Sabtu (2/4/2022).
Sejak masih muda Mbah Sukar mengaku sudah tergila-gila pada kesenian jawa. Yang paling disenangi yaitu gamelan. Uniknya, untuk belajar dan mendapatkan pengalaman dalam berkesenian, Mbah Sukar tidak pernah bergabung dengan paguyupan atau kelompok seni. Dirinya punya cara unik belajar gamelan dan karawitan yaitu selalu mendatangi pentas kesenian tradisional seperti wayang kulit, ketoprak, campursari, reog,dan kuda lumping.
“kebetulan saat muda saya kerjanya jualan rokok keliling. Jualannya ditempat-tempat keramaian yang ada pentas kesenian tradisional,” ungkap Mbah Sukar.
Ditambahkannya, ditahun 1964-an kesenian tradisional masih menjadi tontonan istimewa dan merakyat. Disetiap desa banyak digelar tontonan tradisi jawa itu. Baik untuk memeriahkan kegiatan sedekah bumi atau untuk kegiatan hajatan seperti khitan dan ngundhu mantu. Dari hanya mendengar dan menonton berbagai pentas seni sambil berjualan itu Mbah Sukar mengaku belajar dan menguasai cara menabuh gamelan.
Didorong besarnya rasa cinta pada kesenian tradisional, Mbah Sukar lalu menyisihkan sebagian keuntungannya berjualan rokok untuk membeli peralatan gamelan. Pertama kali yang dibeli yaitu kendang dan peralatan gamelan lainnya.
Saat peralatan gamelannya mulai lengkap, ditahun 1970, Mbah Sukar lalu membuat grup Karawitan yang diberi nama Dwija Laras. Anggotanya para tetangga.
Perjalanan waktu, grup karawitan bentukan Mbah Sukar beranggotakan 10 orang ini sering mendapatkan job tanggapan diwilayah Kabupaten Tuban hingga keluar daerah. Setiap pentas Mbah Sukar selalu memainkan alat music kendang.
Grub Karawitan Dwija laras yang dipimpin Mbah Sukar sempat Berjaya ditahun 1970-1980. Meski sudah cukup punya nama, dirinya tidak merasa puas begitu saja. Ditahun 1996. dirinya juga mendirikan grup kesenian reog. Untuk kebutuhan peralatan reog, selain membeli sebagian besar hasil dari buatannya sendiri.
Grub kesenian reog Sardulloh Budaya ini berangkatan 40 orang terdiri dari panjak (penabuh gamelan) pemain barong, Warok, Jathilan, Bujangganong, Klana Sewandana dan lainnya.
Seperti halnya grup Karawitan Dwija laras, Grup Reog Sardulloh Budaya juga laris mendapatkan tanggapan. Setiap bulannnya bisa pentas tiga hingga empat kali diwilayah Tuban dan sekitarnya.
Namun seiring perkembangan jaman, kejayaan grup kesenian yang dipimpin Mbah Sukar mulai meredup. Maraknya tontonan music orkes dan dangdutan perlahan namun pasti semakin menenggelamkan kesenian tradisional.
“Meski masih ada job namun sudah jarang-jarang. Sekarang ini setiap ada tanggapan pentas, sudah saya serahkan kepada kepada anak-anak,” ucap Mbah Sukar.
Meski demikian kecintaan Mbah Sukar pada gending-gending jawa masih cukup menyala. Untuk menyalurkan rasa cintanya dirinya mengajar karawitan pada siapa saja yang masih tertarik untuk belajar seni warisan leluhur itu. Apa yang dilakukannya tanpa pamrih. Selain menyalurkan jiwa seni juga bagian dari tetap nguri-nguri kesenian jawa agar tidak sampai tergerus perubahan jaman.
“Kecintaan pada seni tradisional sudah mendarah daging. Selagi masih diberikan kekuatan dan nafas sama Allah, saya akan tetep berupaya untuk mengembangkan kesenian jawa,” pungkas Mbah Sukar.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait