Pakai Rompi Tahanan dan Tangan Diborgol, ini Tampang 9 Tersangka Kasus Korupsi Pertamina

JAKARTA, iNewsTuban.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), subholding, dan KKKS. Praktik haram ini diduga terjadi selama periode 2018 hingga 2023.
Semula, Kejagung mengumumkan penetapan tujuh tersangka pada Selasa (24/2/2025). Penetapan dilakukan usai tujuh tersangka itu menjalani pemeriksaan.
Mereka yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, Direktur Optimalisasi dan Produk Pertamina Kilang Internasional Sani Dinar Saifuddin, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Kemudian Vice President Feedstock Manajemen pada PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan dan Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara Dimas Werhaspati.
Lalu pada Rabu (25/2/2025), Kejagung menetapkan dua tersangka baru dalam perkara tersebut. Keduanya yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.
Penyidik Kejagung menemukan dugaan adanya upaya pengoplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax.
"Ini tadi modus termasuk yang saya katakan RON 90 ya, tetapi dibayar RON 92. Kemudian, diblending, dioplos, dicampur," kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).
Dia menuturkan, pada periode 2018-2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Adapun, hal tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri.
"Berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak dalam negeri tidak terserap seluruhnya, dan pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ucapnya.
Dia menambahkan, pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan dua alasan.
Pertama, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga KBS.
Kedua, produksi minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spec. Namun, nyatanya minyak mentah bagian negara masih sesuai spec kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
"Saat porsi minyak mentah oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," katanya.
Akibat perbuatan para tersangka, negara merugi Rp193,7 triliun. Namun, angkanya berpotensi melebihi temuan itu.
Sebab, jumlah tersebut merupakan penghitungan kerugian negara pada 2023. Sedangkan kasus yang disidik mencakup 2018 hingga 2023.
"Kemarin yang sudah disampaikan di rilis, itu Rp193,7 triliun. Itu tahun 2023. Makanya kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar kepada wartawan.
Dia mengatakan, proses penghitungan dilakukan bekerja sama dengan ahli. Terlebih, terdapat sejumlah komponen yang harus diperhitungkan berkaitan penghitungan kerugian negara atas praktik haram tersebut.
Komponen tersebut, kata dia, mulai dari kompensasi hingga subsidi. Selain itu, penyidik perlu memastikan apakah komponen tersebut diterapkan di sepanjang 2018-2023.
"Soal menghitung kerugian itu nanti kalau bisa di-trace di 2018-2023, ini kan baru kompensasi 2023, aturan kompensasinya nanti mau kita cek. Ada gak di 2018, 2019, kalau gak ada berarti kan di 2018 bukan kerugian dong, karena gak ada," jelasnya.
Editor : Prayudianto