Bupati mengizinkan Djojodigdo yang terkenal memiliki ajian Pancasona menciutkan nyali para penjahat. Para begal memilih menyingkir daripada bertarung dan binasa. Ajian Pancasona atau Rawa Rontek merupakan ilmu kesaktian pilih tanding. Pemilik Pancasona konon tak bisa dibunuh.
Setiap mati pengamal Pancasona akan hidup kembali saat jasadnya menyentuh tanah. Atas keberhasilan mengusir para begal, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo mengangkat Djojodigdo sebagai Patih Kadipaten Blitar. Peristiwa pengangkatan itu berlangsung pada 8 September 1877. Menurut penuturan Mbah Lasiman, Eyang Djojodigdo memiliki empat orang istri.
Dari keempatnya lahir 32 anak dan 4.000 buyut yang tersebar di Indonesia. Salah satu putra Djojodigdo menjadi Bupati Rembang dan putra bupati itu yang kemudian memperistri RA Kartini.
“Jadi suami RA Kartini merupakan cucu dari eyang Djojodigdo, “ kata Mbah Lasiman.
Menurut Mbah Lasiman tradisi mengungsi ke pesarean Djojodigdan saat Gunung Kelud meletus, terus berlanjut. Banyak yang percaya, mereka akan dijaga seluruh pusaka peninggalan Eyang Djojodigdo. Pusaka tersebut kata Mbah Lasiman kadang memperlihatkan diri kepada para peziarah.
“Wujudnya ular naga. Kemudian delapan ekor harimau Lodoyo yang merupakan roh harimau dalam tradisi rampogan macan,” ucap Mbah Lasiman.
Patih Djojodigdo mangkat pada 11 Maret 1909 dan bermakam di pesarean Djojodigdan yang saat ini terdapat 125 makam.
Sebuah keranda mayat berukir berada di atas pusara Eyang Djojodigdan. Empat tiyang besi menyangganya.
Hal itu yang membuat Pesarean Djojodigdan juga memiliki sebutan Pesarean Makam Gantung. Sebutan gantung merujuk pada kepercayaan jasad pengamal Ajian Pancasona akan hidup kembali saat menyentuh tanah. Mbah Lasiman membantah semua itu. Menurut dia, di dalam keranda yang tergantung tersebut berisi pusaka, pakaian atau ageman Eyang Djojodigdo dan ilmu Pancasona.
Sementara jasad Eyang Djojodigdo tetap dimakamkan seperti pada umumnya orang meninggal dunia.
“Yang digantung itu bukan jenazah. Melainkan pusaka, ageman eyang dan ilmu Pancasona,” pungkasnya.
Editor : Prayudianto