TUBAN, iNewsTuban.id – Setiap tanggal 30 september tiba, Bangsa Indonesia selalu teringat akan sejarah kelam yang terjadi pada 59 tahun silam, yakni tragedy berdarah Gerakan 30 September 1965 PKI (G30S-PKI).
Saat itu usia Indonesia baru saja 20 tahun setelah lepas dari penjajah Belanda, yang telah menjajah Bangsa Indonesia selama 350 tahun.
Sedikitnya 6 Jendral TNI dan 1 perwira telah gugur dalam peristiwa yang didalangi oleh PKI yang saat itu sedang dipimpin oleh DN Aidit. Selain membunuh 7 Pahlawan Revolusi, dalam tragedi itu, putri Jenderal AH Nasution (Menhankam) bernama Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun, juga turut menjadi korban kekejaman PKI.
Keenam perwira tinggi yang menjadi korban G30S PKI antara lain Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, dan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono. Ada juga Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir jenderal Donald Isaac Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, serta ajudan AH Nasution yang bernama Lettu Pierre Andreas Tendean juga turut meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
Menanggapi peristiwa kelam yang telah menjadi cerita sejarah paling memilukan dalam perjalanan Bangsa Indonesia itu, pemerhati sejarah dan budayawan asal Kabupaten Tuban, Sudjarwoto Tjondronegoro mengatakan, bahwa memahami sejarah terkait pemberontakan G 30 S/ PKI tidak boleh sepenggal-sepenggal, apalagi itu adalah sejarah kelam yang kelak mempengaruhi sikap, situasi politik dan keamanan di Indonesia.
“memahami G 30 S tidak boleh sepenggal-sepenggal, tapi harus sebuah keutuhan, bagaimana kita melihat G 30 S/ PKI dari cara pandang pemerintah, penguasa saat ini, dan kacamata para pelaku di kala itu, bagaimana PKI posisinya, bagaimana TNI, dan bagaimana pemerintahan pada saat itu, tiga komponen ini harus dicari, kejelasannya yang original,” ujarnya mengawali perbincangan dengan awak media.
Editor : Prayudianto