Jejak Kepercayaan Kuno Kampung Para Pengungsi Perang di Hutan Matotonan

Pada akhir 1970-an, perluasan permukiman dilakukan dengan membuka wilayah Bat Matotonan. Warga bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergotong royong mendirikan barasi—rumah sosial yang kemudian menjadi permukiman tetap. Kini, Desa Matotonan terbagi menjadi lima dusun: Kinikdog, Matektek, Maruibaga, Onga, dan Mabekbek.
Uma: Rumah yang Menjaga Roh Leluhur
Uma adalah jantung kehidupan orang Mentawai. Bangunan besar ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi pusat musyawarah, penyelesaian sengketa, dan pelaksanaan ritual adat. Di dalamnya, para tetua—sikebbukat uma—menjadi penentu arah kehidupan klan. Setiap keputusan penting, seperti menyembuhkan orang sakit atau menggelar upacara arwah, harus dimusyawarahkan di uma.
Dulunya, rumah-rumah anggota klan (sapou) berdempetan mengelilingi uma, membentuk satu kesatuan sosial. Kini, rumah-rumah sosial dari program pemerintah menyebar, tak selalu satu klan, bahkan berdiri di atas tanah milik klan lain. Meski begitu, uma tetap menjadi simbol pemersatu, lengkap dengan tengkorak babi, gong, kuali besar, dan tuddukat (kentongan) yang menandai kehidupan spiritual dan adat.
Bertani, Berburu, dan Sagu sebagai Nafas Hidup
Di Matotonan, kehidupan bergantung pada hutan dan tanah. Mereka menanam keladi, pisang, sagu, coklat, pinang, hingga nilam. Saat harga hasil bumi seperti pinang atau manau naik, aktivitas ekonomi bergeser. Warga beramai-ramai menyusuri hutan untuk memanen atau menebang. Jika harga jatuh, mereka kembali ke kebun keladi, berburu, atau menangkap ikan di sungai.
Sagu menjadi makanan pokok yang diwariskan secara turun-temurun. Dulu diparut dengan alat dari paku dan kayu, kini prosesnya mulai terbantu mesin. Namun beberapa warga masih menjaga cara tradisional: meremas atau menginjak batang sagu dengan tangan dan kaki—sebuah ritual harian yang penuh makna.
Editor : Prayudianto