Jejak Kepercayaan Kuno Kampung Para Pengungsi Perang di Hutan Matotonan

Perempuan memegang peran penting. Mereka mengelola kebun keladi, menangguk udang di sungai (paliggagra), dan menyiapkan okbuk—bambu kecil untuk memasak sagu. Dalam acara adat, seperti lia di (ritual besar), para perempuan memikul peran logistik: mengambil kapurut (daun sagu), memotong bambu, dan menyiapkan makanan persembahan untuk roh.
Keladi dan babi bukan sekadar komoditas, tapi bagian dari sistem nilai. Keladi bisa menjadi mahar, alat pembayaran denda adat, atau penukar ramuan obat. Demikian pula babi, yang tak pernah absen dalam upacara penyembuhan Sikerei.
Menjaga Tradisi di Ambang Zaman
Desa Matotonan telah ditetapkan sebagai desa wisata sejak 2021, namun modernisasi belum benar-benar menyentuh jantung budaya mereka. Sinyal telepon belum stabil, listrik hanya menyala sebagian waktu, dan jalan beton yang dibangun pemerintah hanya selebar dua meter, tak selalu bisa dilalui motor.
Di balik segala keterbatasan itu, Matotonan tetap berdiri sebagai benteng terakhir Arat Sabulungan. Di sinilah para Sikerei—dukun, tabib, sekaligus pemimpin spiritual—masih memainkan peran sentral. Mereka tak hanya menyembuhkan tubuh yang sakit, tapi juga menjaga hubungan manusia dengan roh hutan, sungai, dan langit.
Matotonan bukan sekadar desa di pedalaman Siberut. Ia adalah lanskap hidup yang merekam pergeseran zaman, konflik, penyatuan, dan keteguhan mempertahankan jati diri. Di tempat inilah Arat Sabulungan tetap berdenyut dalam ritual, hutan, dan kehidupan sehari-hari—menunggu untuk didengar, dipahami, dan dihargai.
Editor : Prayudianto