get app
inews
Aa Text
Read Next : Tentara Mongol Mengamuk, Utusan Dipermalukan saat Raja Singasari Tolak Kubilai Khan

Mengenal Kitab yang Menceriterakan Perjalanan Raja Singasari dan Majapahit, Pararaton

Senin, 28 Juli 2025 | 07:27 WIB
header img
Ilustrasi peninggalan Kerajaan Singasari (Screenshot Kemdikbud)

MALANG, iNewsTuban.id - Kitab Pararaton menjadi salah satu dari beberapa temuan sejarah yang mengisahkan dua kerajaan besar di Nusantara. Kitab ini ditulis untuk menggambarkan sejarah dari Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan besar di masanya.

Pararaton ditulis menggunakan prosa berbahasa Jawa pertengahan, yaitu peralihan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa Jawa baru. Judul Pararaton berasal dari kata dasar ratu, yang dalam bahasa Jawa bermakna raja atau pemimpin rakyat.

Tentu saja ini berbeda dengan pengertian ratu dalam bahasa Indonesia, yang bermakna raja perempuan atau permaisuri. Kata ratu dalam bahasa Jawa masih satu akar dengan kata datu dalam bahasa Melayu Kuno, yang berubah menjadi datuk dalam bahasa Malayu Baru.

Dari pengertian di atas, Pararaton dapat dimaknai sebagai kisah para raja, khususnya raja-raja Dinasti Rājasa atau Rājasawangśa, yang berkuasa di Kerajaan Tumapěl, Singhasāri dan Majapahit atau Wilwatikta, sebagaimana dikutip dari buku "Pararaton : Biografi Para Raja Singhasari dan Majapahit".

Penyebutan judul Pararaton terdapat pada bagian kolofon naskah, sedangkan judul yang tertulis pada bagian awal ialah Katuturanira Ken Arok

Tokoh bernama Ken Arok merupakan cikal bakal Dinasti Rājasa yang mendapat porsi paling banyak dalam naskah ini dibanding para raja lainnya. Kisah kehidupan Ken Arok yang tertulis pada bagian awal Pararaton, banyak dibumbui mitos dan peristiwa ajaib yang terkesan tak nyata.

Misalnya, dia diceritakan mampu terbang menggunakan sepasang daun siwalan sebagai sayap, serta dari ubun-ubun kepalanya pernah keluar kawanan kelelawar yang menyerbu tanaman jambu milik gurunya. 

Namun, Pararaton juga mengisahkan peristiwa sejarah, yaitu Ken Arok menaklukkan Negeri Daha pada Šaka 1144 (1222 Masehi). Angka tahun ini ternyata cocok dengan yang tertulis dalam naskah Nagarakṛtāgama.

Berbeda dengan Nāgarakṛtāgama yang menyebut penulisnya dengan nama samaran Prapañca, sampai saat ini belum ada informasi siapakah pujangga yang pertama kali menyusun Pararaton. 

Sebenarnya ini tidaklah aneh karena pada umumnya naskah sastra berbahasa Jawa Pertengahan bersifat anonim, sebagai contoh, Kidung Harşawijaya, Kidung Rangga Lawe, Kidung Sorandaka, Kidung Sunda, dan Kidung Suņdāyana, semuanya anonim, tidak mencantumkan nama penulisnya.

Mengenai tahun pembuatannya, Pararaton yang diterbitkan JLA Brandes (1897) menyebutkan, naskah ditulis pada Śaka 1535 (1613 Masehi), sedangkan yang diterbitkan Agung Kriswanto (2009) menyebutkan naskah ditulis pada Šaka 1522 (1600 Masehi). 

Oleh karena ada dua versi angka tahun, dapat disimpulkan dua-duanya tahun penyalinan, bukan tahun penyusunan. Tapi kedua versi Pararaton yang bertahun Śaka 1535 maupun yang bertahun Śaka 1522 sama-sama ditutup dengan peristiwa gunung meletus pada wuku Watugunung tahun Śaka 1403 (1481 Masehi).

Peristiwa ini berselang 3 tahun setelah kematian seorang raja di istana Majapahit pada Śaka 1400 (1478 Masehi). Raja yang meninggal itu bukanlah raja terakhir Dinasti Rājasa karena masih ada Śrī Girīndrawardhana Dyah Ranawijaya yang namanya tertulis dalam Prasasti Pēțak bertahun Śaka 1408 (1486 Mase- hi). Anehnya, nama raja ini tidak disebutkan dalam Pararaton.

Dengan demikian, dapat diperkirakan Pararaton disusun sesudah tahun 1481 dan sebelum tahun 1486. Kemungkinan kedua, penulis Pararaton sengaja tidak mengisahkan Śrī Girīndrawardhana Dyah Ranawijaya, karena saat itu pusat pemerintahan Dinasti Rājasa sudah pindah ke Keling, tidak lagi di Majapahit.

Editor : Prayudianto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut