Keputusan itu mau tidak mau diterima oleh Jogokaryo I. Apalagi saat itu konon kondisi Pacitan tengah tidak stabil secara keamanan. Pasukan pejuang di bawah komando Pangeran Diponegoro, yang disebut oleh Belanda sebagai pemberontak itu tengah mengepung Pacitan.
Dari sekian berandalan yang bermaksud memberontak bupati yang baru dilantik adalah Kiai Bagor dan Irorono, yang berstatus Lurah Gedangan. Suatu waktu konon Kiai Bagor beserta orang-orangnya dengan senjata lengkap berangkat menyerang Kota Pacitan.
Kiai Bagor yang lumpuh ditandu oleh pasukannya, sedangkan Irorono naik kuda diiringi sekitar 50 orang pasukan di kanan kirinya. Rombongan pemberontak ini bisa menerobos beberapa pos pemeriksaan, hingga memasuki pendopo, dengan dalih polisi desa yang membawa penjahat untuk diserahkan ke kota.
Di Pendopo Pacitan tanpa tading aling-aling para pemberontak itu langsung berteriak-teriak sambil mengambil tombak, telempak, dan persenjataan lain yang sudah disiapkan sebelumnya. Sang bupati yang baru terpilih Mas Tumenggung Jogokaryo II atau yang bergelar Mas Tumenggung Jogonagoro terkejut dengan kemunculan berandalan pemberontak di pendopo.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait