MENTAWAI, iNewsTuban.id - Di hulu Sungai Rereiket yang membelah belantara Pulau Siberut, Desa Matotonan seolah tersembunyi di balik kabut pagi dan rindangnya pohon-pohon raksasa. Nama desa ini berasal dari tumbuhan totonan atau kecombrang (Etlingera elatier) yang tumbuh melimpah di sana.
“Ma” berarti banyak. Maka, Matotonan adalah tempat di mana totonan hidup subur, menjalar di sepanjang tepian sungai dan lereng bukit.
Sungai Rereiket mengalir deras dari Matotonan, membelah desa-desa tetangganya—Madobag, Muntei, hingga bermuara di Muara Siberut, pusat Kecamatan Siberut Selatan. Akses ke luar masuk desa masih mengandalkan sungai sebagai urat nadi kehidupan. Warga setempat menyebut perahu bermesin kecil itu "pompong", alat transportasi tradisional yang kini berpacu dengan waktu dan arus modernisasi.
Di tengah keterpencilan itu, Matotonan menyimpan warisan budaya yang nyaris utuh: Arat Sabulungan—kepercayaan asli masyarakat Mentawai—yang dijaga ketat oleh para Sikerei.
Kampung dari Para Pengungsi Perang
Sejarah Matotonan berakar dari konflik berdarah di daerah Simatalu pada 1930-an. Ketika perang suku pecah, beberapa klan besar memilih meninggalkan kampung halamannya dan mengembara ke hulu Sarereiket. Mereka—Satoleuru, Sabulat, Sarubei, Samalei, dan lainnya—berpencar di sepanjang sungai, membentuk permukiman kecil yang kemudian diresmikan sebagai Kampung Sarereiket pada 13 Agustus 1940.
Kepala Kampung pertama berasal dari klan Sarubei, sementara Kepala Lori dari klan Sabulat. Sejak itu, peradaban mulai tumbuh di tengah rimba Siberut.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait