Tangsi Militer KNIL Masa Kolonial Belanda Simpan Kisah Pilu Anak-Anak Hasil Kumpul Kebo

Solichan Arif
Djoemiha bersama keluarganya. Foto dibuat sekitar 1918 (foto: repro/ist)

Sedangkan anak-anak perempuan melanjutkan jejak ibunya, yakni hidup sebagai nyai untuk para tentara. Masyarakat sipil menganggap orang-orang tangsi sebagai orang yang bodoh, biadap, tidak dapat dipercaya dan sangat rusak. Mereka tidak diberi ruang untuk mengembangkan dan memajukan diri.

Anak-anak Indo Eropa hasil pergundikan pada akhirnya ada juga yang membentuk kelas sosialnya sendiri. Banyak dari mereka yang kemudian bekerja sebagai tukang, penjahit, petugas telegraf, tukang pos, mekanik dan petugas pengukuran kadaster.  

Masyarakat sipil Eropa memandang anak-anak hasil pergundikan tangsi sebagai hal yang mengerikan. “Mereka dilihat sebagai wujud kebobrokan moral orang-orang Eropa di koloni,” tulis Reggie Baay.

Salah seorang Belanda yang menentang keras praktik pergundikan di tangsi militer adalah Johannes van der Steur. Ia menyurati Direktur Pendidikan Agama dan Industri yang intinya mendesak segera dilangsungkan pernikahan sebanyak mungkin.

Saat itu para pimpinan militer bersikukuh menolak. Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal W Rooseboom (1899- 1904) seorang pimpinan militer berpendapat semua akibat negatif tak dapat mengimbangi berbagai keuntungan besar yang didapat dari pergundikan tangsi.

Editor : Prayudianto

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network