SURABAYA, iNewsTuban.id - Nasib pilu menimpa anak-anak hasil pergundikan atau kumpul kebo di tangsi militer Koninklijke Nederlands Indische Leger ( KNIL). Banyak di antara mereka yang hidup terlantar, miskin dan menjadi gelandangan.
Jumlah anak-anak yang lahir dari rahim para nyai atau moentji, yakni sebutan untuk perempuan simpanan di dalam tangsi militer, tidak sedikit. Kementerian Penjajahan Hindia Belanda menyebut, pada tahun 1890 terdapat 2.500 anak hidup di dalam tangsi militer.
“Secara umum mereka bukan hanya anak dari orang Eropa tetapi juga dari militer Pribumi dan yang dibawa oleh para nyai dari hubungan sebelumnya (dengan laki-laki Pribumi),” tulis Hanneke Ming dalam Barracks-Concubinage inThe Indies 1887-1920.
Jumlah anak-anak haram dalam tangsi militer itu terus bertambah. Pada tahun 1900 jumlah meningkat menjadi 7.000 anak dengan 1.744 di antaranya terdaftar sebagai anak tentara Eropa. Jumlah tersebut dicurigai belum seluruhnya, karena dalam praktiknya tidak semua anak didaftarkan.
Usia anak-anak itu juga beragam, mulai dari bayi hingga umur 12 tahun. Umumnya, umur anak di atas 12 tahun tidak lagi bertempat tinggal di tangsi militer. Mereka tidak lagi berada di kolong bawah ranjang besi sebagai tempat tidur, di mana dari situlah istilah anak kolong berasal.
Ada anak-anak yang kemudian mengikuti jejak bapaknya, yakni bergabung di ketentaraan. Ada yang dibawa ke Belanda dan tidak sedikit menetap di tengah masyarakat sipil Hindia Belanda. “Namun pada umumnya anak-anak tersebut meninggalkan tangsi bersama ibu mereka,” tulis Reggie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait