“Waktu terbaik untuk tracking di sini memang pada saat musim hujan. Tampilan lumutnya lebih segar dan lebih hijau. Kalau datangnya habis hujan, kabut-kabut juga masuk dalam sela pepohonan. Itu sebabnya banyak yang bilang Gunung Lumut ini seperti negeri dongeng,” ujar Kristianto Putra, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Lindong Lumut kepada iNews beberapa waktu lalu.
Lebih dari sekadar trekking, Gunung Lumut menyimpan kekayaan biodiversitas yang luar biasa. Sepanjang jalur, wisatawan dapat menjumpai berbagai jenis lumut seperti lumut daun, lumut hati, hingga lumut tanduk, bersanding indah dengan flora khas seperti anggrek bulan, kantong semar, pohon simpor, dan jamur pelawan yang bisa dikonsumsi.
Sisi fauna tak kalah unik—mulai dari tarsius, tokek endemik yang dijuluki Tokek Ahok, burung Rui yang dilindungi, hingga kelelawar yang dijuluki warga sebagai “vampir palsu”. Tak ketinggalan, kupu-kupu, kancil, hingga kijang liar turut memperkaya kehidupan liar di hutan ini.
Pesona Gunung Lumut
Puncak Gunung Lumut menawarkan gardu pandang sederhana, namun strategis. Dari sini, mata dapat menyapu lanskap desa dan hamparan hutan yang berselimut kabut—spot favorit para fotografer yang ingin menangkap keindahan alami tanpa sentuhan artifisial.
Sejak 2021, kawasan ini resmi menjadi bagian dari Geopark Belitong yang diakui UNESCO. Pengelolaannya dilakukan sepenuhnya oleh warga setempat melalui Pokdarwis. Tiket masuknya pun terjangkau, mulai dari Rp125.000 per orang untuk minimal 4 orang dalam satu paket. Sudah termasuk trekking, minuman penyambut, sesi pengenalan budaya, hingga permainan tradisional seperti Lesong Ketintong dan Alu Beserang.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait